Rumah Retak Gempa Jogja 2006, Laki-laki Ini Percaya Diselamatkan oleh Entitas Misterius

Di luar kesedihan, Gempa Yogya pada tanggal 27 Mei 2006 turut meninggalkan kisah-kisah yang menakjubkan. Kisah Sriyanto adalah contohnya. Kita bisa mempercayai atau justru meragukannya.

---

bergabung dengan WhatsApp Channel kami, ikuti dan temukan informasi terkini yang akan datang langsung ke ponsel Anda.

---

Online.com - Suatu desa dekat dengan Candi Prambanan, berada di dataran bukit antara batas wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, hancur akibat gempa pada tanggal 27 Mei 2006. Banyak rumah yang rusak parah, beberapa dibagi menjadi dua bagian; ada pula yang hilang sebagian atau bahkan bergeser lebih dari 20 meter.

Namun, tidak ada satupun dari ke-72 orang anggota 14 kepala keluarga tersebut yang jatuh. Katanya, sang penebus bencana muncul dari sebuah batu suci yang berada di desa tersebut.

Setidaknya, seperti itulah kisah Sriyanto (yang saat gempa berusia 28 tahun). Lelaki ini bekerja sebagai tukang batu dan selamat dari kejadian tersebut secara misterius: tubuhnya dipindahkan oleh pria lanjut usia yang tidak dikenalnya, tepat ketika tanah mulai menggigil hebat pada hari Sabtu pagi itu, merobohkan ribuan rumah di Yogyakarta dan beberapa bagian Jawa Tengah.

Hingga tiga bulan sejak kejadian luar biasa tersebut, Sriyanto tetap merasakan gabungan antara ketidakpastian dan keterkejutan. Meskipun demikian, traumanya belum benar-benar menghilang.

Oleh karena itu, tiap kali mengulangi kisah tersebut, yang terdengar dari bibirnya hanyalah narasi tanpa gairah, berupa frasa singkat dengan nada monoton. Bunyinya pelan, kadang-kadang ia memandang kosong ke arah reruntuhan rumahnya.

Seluruh area desa yang rusak diketahui tak boleh direkonstruksi akibat peristiwa alami pada tanggal 27 Mei 2006, yang dinilai istimewa oleh masyarakat setempat. Fenomena tersebut menyebabkan tanah retak dan membuat bagian dari daerah desa bergeser ke sisi lain, menjadikan hal ini sebagai subjek studi bagi Pemda DIY bersama dengan Universitas Gadjah Mada untuk ditelaah lebih lanjut.

Sebaliknya, penduduk dipindahkan ke area bekas tanaman tebu yang tidak jauh dari lokasi aslinya.

Perjuangan setahap demi setahap

Pada saat guncangan gempa berkekuatan 5,9 skala Richter datang, Sriyanto telah tinggal di rumah tersebut hanya selama empat tahun. Meskipun demikian, setelah melihat sisa-sisa runtuhan strukturnya, sepertinya properti ini tetap dalam kondisi baik. Dinding cat warnanya putih masih kelihatan rapi dan bersih. Begitu juga dengan ubin lantainya yang memiliki nuansa biru.

Sriyanto bertempat tinggal di sebuah perbukitan berbatu kapur yang terletak di area Sleman, spesifiknya di Desa Nglepen, Dusun Sengir, Kelurahan Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Bangunan rumahnya cukup kuat dengan tembok dari batu bata merah. Di dalamnya ada sejumlah tiga tempat tidur, satu ruangan tamu, satu ruang makannya sendiri, satu bilik mandi serta dapurnya tersendiri pula. Total luas struktur tersebut sekitar 70 meter persegi.

Ia mengembangkannya perlahan-lahan dalam beberapa bulan akibat terbatasnya dana. Seluruh proyek tersebut merupakan buah dari usaha kerasnya yang dilakukan saat bekerja di Kota Yogyakarta.

Awalnya, fokusnya adalah pada dinding-dinding rumah tersebut. Setelah berhasil mengumpulkan lebih banyak uang, ia melanjutkan proyek untuk memasangkan atap. Begitu seterusnya, perlahan-lahan dan bertahap, bagian-bagian lain pun diatur sesuai dengan jumlah uang yang telah dikumpulkannya.

Saat gempa berlangsung, bisa dikatakan bahwa Sriyanto sedang menikmati buah dari usaha kerasnya. Namun sayang sekali, gempa tersebut menghancurkan segalanya dengan total.

Rumahnya runtuh, demikian pula harapannya—termasuk mimpinya untuk masa depan. Keprihatinannya terus-menerus, dan nyala keterpurukan mulai meredup dari dalam dirinya. Hingga tiga bulan sejak insiden itu, ia masih enggan untuk kembali mencari pekerjaan.

Lahan desa berpindah sejauh 20 meter

Pada hari Sabtu di awal pagi, Sriyanto masih tertidur pulas. Namun tiba-tiba ia disadarkan oleh seekor kakek asing yang kemudian menggulingkan tubuhnya dan membuangnya keluar rumah melalui jendela kamarnya.

Setibanya diluar, ia langsung melaju cepat menjauhi lokasi menuju ke selatan setelah merasakan bahwa posisinya tidak stabil dan mendengar bunyi yang mirip dengan ledakan besar.

Bulan demi bulan berlalu setelah peristiwa tersebut, Sriyanto tetap tidak mengetahui identitas sang kakek penyelamatnya. Selain itu, ia merasa sangat bersyukur atas pilihan dirinya lari menujuarah selatan. Ia bahkan tak benar-benar menyadari alasan di balik keputusannya ini. Tetapi ketika itu, dia memang memiliki firasat kuat bahwa harus segera melaju ke selatan.

Untunglah keputusannya benar. Jika ia mengabaikan perasaannya dan bertindak berlawanan, kemungkinan besar pada saat itu dirinyalah yang telah terkubur di bawah reruntuhan dapur tersebut. Pasalnya, ruangan tempatnya tidur juga hancur seiring dengan robohnya area dapur. Ruangan itu secara tidak langsung menyatu dengan dapur. Sementara sisi lain dari rumah masih utuh namun bergeser menuju selatan sekitar 20 meter lebih jauh.

Rumah Sriyanto, bersama dengan sejumlah rumah warga disekitarnya, hancur dan rusak parah jatuh ke dalam retakan tanah yang terbentuk menjadi lobang lebar.

Sepertinya, gempa hebat tersebut telah mengoyak bagian dari lahan di Desa Nglepen, menciptakan sebuah lubang dengan diameter kira-kira 20 meter serta kedalaman sekitar 6 meter. Sekitar area tersebut, retakan-retakan panjang bermunculan dengan lebar antara 50 sentimeter hingga satu meter. Bahkan, kasurpun dapat tertelan oleh celah-celah ini. Di dalam lobang besar tersebut berserakan pecahan-pecahan bangunan, pepohonan roboh, dan berbagai macam barang-barang rumah tangga.

Bisa jadi ini adalah alasan mengapa timbul bunyi bergemuruh layaknya ledakan cukup keras. Bayangkan jika Sriyanto masih berada di kamarnya. Ia pasti telah berada di bagian bawah lubang tersebut, tertutup oleh runtuhan dinding, ranting-ranting pohon, kayu, serta berbagai jenis sampah, dengan kondisi yang tak terbayangkan.

Di samping itu, beberapa bangunan juga runtuh, dan lahan tersebut berpindah kearah selatan. Hal ini nampak jelas dari letak dapur serta kamar Sriyanto yang terletak secara terpisah dari area utama rumah meliputi teras, ruang tamu, dan dua lagi kamar tidur, dengan perbedaan sekitar 20 meteran.

Bukan hanya itu saja, bahkan jalur utama yang mengarah ke desa serta tiang-tiang listrik di tepi jalan pun berpindah cukup jauh. Begitu pula dengan sumurnya. Sebelumnya ada sekitar enam sumur tersebar di seluruh kampung tersebut. Namun setelah diguncangi oleh gempa bumi, lima dari jumlah tersebut lenyap, rusak, atau bergeser sehingga tidak bisa menyambung dengan sumber air alam lagi. Hanya satu sumur yang masih bertahan meski sudah berubah menjadi bentuk menyerupaai telur mandi. Syukurlah, air tetap dapat ditemui disana.

Menariknya, gempa pada tanggal 27 Mei 2006 tidak mengambil nyawa atau menyebabkan luka serius di antara penduduk desa tersebut. Dari total 72 orang yang terdiri dari 14 kepala keluarga (KK), semua berhasil selamat. Bangunannya hancur namun. Jika sebelum bencana jumlah rumah sesuai dengan jumlah KK yaitu 14 unit, maka setelah peristiwa ini hanya ada tiga hunian saja yang masih kokoh berdiri.

Penunggu candi batu

Sriyanto mengira bahwa kemungkinan tak ada korban jiwa bisa jadi berkat bantuan dari "pihak lain". Pihak lain tersebut merujuk pada "penghuni halus" candi batu yang berada di sekitar desa itu, letaknya di bagian belakang pemukiman warga.

Sriyanto menyinggung tentang pengalamannya sendiri serta beberapa warga sekitarnya yang menghadapi situasi mirip. Ia mencantumkan nama Nurwanto (8), muridkelas dua sekolah dasar yang juga berhasil diselamatkan oleh orang tidak dikenal ketika gempa terjadi.

Menurut cerita dari Sriyanto, pada pagi hari kejadian itu, Nurwanto tengah mandi di dalam kamar mandi. Ibu nur mencoba keluar rumah dengan cepat setelah merasakan gempa, sementara dia ada di area lainnya. Lihat saja, Nurwanton mendadak muncul tepat di samping ibunya tersebut.

Menurut cerita Nurwanto, dia mengatakan bahwa ada seorang kakek – yang tidak dikenalinya – mencabutnya tepat saat rumah itu roboh, kemudian memindikkannya ke dekat tempat ibunya berada di luar rumah.

Menceritakan mengenai sebuah candi berbahan batu yang terletak di bagian belakang tempat tinggalnya, Sriyanto percaya bahwa hal tersebut tidak semudah apa yang tampak. Candi dengan ketinggian sekitar 4 meter ini tertutup oleh pohon-pohon dan benar-benar luar biasa menurut pandangan Sriyanto.

Menurut kabarnya, daerah ini menjadi ibu kota bagi kaum jin dan juga pusat bertemu para raja jin. Banyak pengunjung yang baru datang ke Desa Nglepen sering kali kesulitan menavigasi sekitar area tersebut hingga akhirnya mereka hanya berjalan melingkar di sekeliling candi batu tersebut saja. Lebih lanjut, kata Sriyanto, ada tiga individu lainnya yang mencoba memotret candi batu itu tetapi pada akhirnya pingsan.

Sebagian warga pernah menerima petunjuk dari batu tersebut saat beberapa malam sebelum guncangan bumi mereka menangkap bunyi tangisan bayi di area batu itu. Fenomena ini tidak umum karena biasanya batu itu tidak memberikan indikasi apapun.

Oleh karena itu, beberapa warga percaya bahwa "penghuni" dari candi batu tersebut lah yang memberikan bantuan dalam menyelamatkan mereka ketika desa mengalami guncangan gempa.percayakah anda? (Utami Sri Rahayu)

Posting Komentar untuk "Rumah Retak Gempa Jogja 2006, Laki-laki Ini Percaya Diselamatkan oleh Entitas Misterius"