Gayot vs Kepala Pengadilan: Perang yang Mengejutkan | R.I.P

Pada pagi hari tersebut, kota ditutupi oleh kabut halus. Burung-burung terbang dari satu atap ke atap lainnya, memperingatkan bahwa aktivitas mulai bergeliat. Di pusat kesibukan di pasar, lelaki kurus bersurai brewok ringkih bergerak pelan-pelan melewati orang-orang. Ia menggunakan baju usia tua, celana agak longgar, serta alas kaki sandal jepit yang hampir aus. Akan tetapi, fokus utamanya tidak pada penampilannya, tapi apa saja yang dibawanya: alat pemukul, palu tambang, dan tas kecil berisi kapur putih murni.

Penduduk di pasar mulai memandangi barang itu dengan rasa ingin tahu. Ada juga yang berkomentar pelan sambil bergumam satu sama lain.

"Hei, Ganteng! Kenapa membawa alat berat seperti palu dan gergaji begitu pagi sekali?" tanya sang pedagang sayuran sambil mengerutkan kening.

Gayot sementara menghentikan langkahnya, menyunggingkan senyum pahit, kemudian merespons, "Aku ingin menemukan kebenaran."

Pedagang itu mengerutkan dahi semakin dalam, bingung dengan arti kata-kata tersebut. Sebelum dia bisa menanyakan pertanyaan lain, Gayot telah berjalan pergi dengan tenang, menyisakan kerancuan di belakangnya.

Di dekat pasar, petugas penjaga kebersihan yang sedang menyimpuh jalan pun mulai merasa mencurigakan.

"Hei, Gayot! Mengapa kamu membawa palu dan cangkul? Apakah kamu ingin menggali kuburan?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.

Gayot melengkukkan bahunya sambil merespons dengan tenang, "Tidak, aku ingin mencari peruntungan."

Pegawai tersebut menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh orang ini," bisiknya sebelum melanjutkan membersihkannya.

Sepanjang petualangan itu, banyak orang lain menanyakan pertanyaan serupa. Respon dari Gayot senantiasa bervariasi --- terkadang tampak penuh filsafat, dan ada kalanya kelihatan seolah-olah dia sedang menceritakan lelucon aneh.

"Aku mau menanam harapan."

Saya berharap untuk mengungkap misteri di balik bumi ini.

Saya sedang mengejar sesuatu yang sudah lenyap untuk waktu yang sangat lama.

Setiap orang yang berpikir ingin tahu hanya akan mengernyitkan dahi, merasa penasaran namun terlalu malas untuk menyelidiki hal aneh tersebut lebih lanjut.

Akhirnya, perjalanan kakinya Gayot berakhir di hadapan bangunan mewah yang dilengkapi dengan tiang-tiang tinggi dan dinding tebal. Tertera pada pintu masuknya tulisan dalam ukiran besar:

DIREKTORI PELAKSANAAN HUKUM DAN KEBIJAKSANIAH

(Mereka mengenalnya sebagai Kantor Penghakiman Agung Nusantara).

Di hadapan pintu masuk perkantoran tersebut, Gayot menusukkan cangkernya ke bumi. Satu kali, dua kali, kemudian ia mulai mencungkil tanah dengan sangat serius.

Riuh rendah sudah timbul. Sang pegawai kantoran yang baru saja tiba merasa heran saat menemukan ada orang yang sedang menggali tanah di hadapan gerbang masuk. Berbagai macam orang seperti sopir bajaj, penjual asongan, hingga pengguna jalan lainnya pun ikut serta memperhatikan keanehan tersebut.

Satpam bertubuh kekar yang memakai seragam hitam mendekatinya.

"Hai, kamu itu! Apa yang sedang kamu kerjakan?" dia bertanya dengan nada keras.

Sambil terus melanjutkan tugasnya, Gayot merespons dengan tenang, "Aku sedang menyiapkan kuburan."

Tempat pemakaman?" Penjaga tersebut makin kebingungan. "Pemakaman siapa?

Gayot berhenti menggali, memukul-mukulkan pakaian kotor debunya, kemudian merespons dengan tenang, "Tempat pemakaman kebenaran dan keadilan yang telah tiada."

Kelompok orang itu mulai bergosip pelan-pelan. Ada di antara mereka yang mengulum senyum penuh arti, sementara sebagian lainnya kelihatan sedang fokus memikirkan sesuatu.

Tidak lama setelahnya, seorang lelaki yang berseragam rapi muncul dari bangunan besar tersebut. Dia adalah Ketua Mahkamah Agung Nusantara, seseorang dengan rambut teratur serta wajah yang menunjukkan kedaulatan. Menatap tajam, dia maju menuju arah Gayot.

"Apa yang kamu maksud dengan membongkar pemakaman di depan kantor kita?" dia bertanya dengan nada yang menunjukkan kekuatan.

Gayot memandanginya, tersenyum samar, kemudian berucap dengan suara tenang, "Tidakkah sudah terlihat? Kebenaran dan keadilan telah tiada, sehingga saya perlu menghormati penguburan mereka."

Pria tersebut mengernyit. "Kau tahu apa yang kumaksud? Tempat ini adalah lokasi di mana keadilan dilakukan!"

Gayot terkikih. "Ya begitu? Maka kenapa kebenaran serta keadilan cuma mendukung mereka yang punya kuasa dan uang? Kenapa orang kurang mampu selalu kalah di pengadilan? Kenapa undang-undang mirip jala laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah sementara yang kuat berhasil kabur?"

Semua orang menjadi lebih berisik. Sebagian pekerja kantor mulai bertatap muka. Ada di antara mereka yang sepertinya mau mengelak, namun tidak ada suara yang terdengar.

Dengan nada yang semakin meninggi, Gayot menambahkan, "Di negri ini, orang-orang kaya dapat menyewa peraturan, sementara mereka yang berkuasa sanggup meredam kebenaran. Bagi para penduduk miskin, tidak ada jalan untuk didengar atau mencari perlindungan. Kecurangan dapat dibiayai dan keadilan bisa ditawarkan. Jadi, betapa artinya hal-hal tersebut?"

Kepala Kantor itu memandanginya dengan tajam. "Apakah kau telah mencemarkan sistem peradilan kita?"

Gayot tersipu senang. "Bukan itu, aku cuma mengungkapkan fakta. Kalau kamu merasa terluka, bisa jadi karena apa yang kukatakan mempunyai sedikit kebenaran."

Orang-orang makin banyak berkumpul. Sebagian mulai memeloroti tangannya perlahan, di saat bersamaan beberapa lainnya hanya menundukkan kepala dengan lembut, seperti baru saja teringat akan suatu hal yang telah lama dilupakan.

Kepala Kantor itu bungkam. Wajahnya memerah, tidak disebabkan oleh kemarahan, melainkan karena kebuntuan dalam mencari kata-kata untuk menyangkal hal tersebut.

Gayot mengeluarkan sebuah batu kapur putih dari sakunya dan kemudian menuangkan pikirannya ke dalam tulisan di atas tanah, persis di hadapan lobang yang baru saja dia buka.

KEBENARAN DAN KEADILAN -- ADEU

Setelah itu, dia menusuk alat pengeruknya ke tanah, memutar tubuhnya, kemudian melangkah pergi dengan tenang.

Pengunjung hanya dapat memandangi kepulangannya, meninggalkan sebuah lobang lebar didekat pintu gedung perkantoran mewah tersebut --- sebuah lobang yang jauh lebih dalam dari sekedar penggalian tanah. Ini merupakan lubang pemahaman.

Pada hari tersebut, satu kebenaran yang menyakitkan sudah dimakamkan, namun tak semua orang mampu menghapusnya dari ingatan.

(BERLANJUT Sesuai dengan tema; GAYOT)

Posting Komentar untuk "Gayot vs Kepala Pengadilan: Perang yang Mengejutkan | R.I.P"